Rabu, Hari ke 3 dalam seminggu
ini terlihat biasa saja bagi mereka, akan tetapi bagiku Rabu adalah hari yang
panjang dan menjengkelkan, karena aku harus bangun 1 jam lebih awal dari
biasanya. Melewati ribuan ton kemalasan yang terletak di seluruh tubuhku,
terutama dibagian kelopak mata, membuat wajahku sempurna seperti zombie. Sebenarnya
bukan itu yang menjadi sebab utamanya, semua karena Mars.
Jam menunjukan pukul 04.00 WIB,
matahari masih belum menampakan wajahnya, angin masih terasa sangat dingin
hingga merasuk keseluruh tulang rusukku, seperti yang kurasakan ketika aku
bertemu dengannya yang adalah kakak senior di kampus.
Namaku Venus Alail, biasa di
panggil Venus. Umurku 19 tahun, aku berada di semester 4 jurusan Ilmu
Komunikasi. Hari ini mata kuliah Public Relation yang dimulai pukul 7 pagi,
dosenya cantik bagaikan bungan mawar warna wani yang berjejeran ditaman. tapi ingat,
mawar juga memiliki duri yang tajam, Bu Noly sebutan akrabnya juga seperti itu,
walapun dia terkenal dengan kecantikan dan kelembutan suaranya, dia juga
memiliki sisi yang buruk, beliau sangat kejam, pelit nilai, disiplin dan
sedikit membosankan. Tidak mentolerin keterlambatan lebih dari 5 menit. Kita
semua sering menyebutnya ibu penyihir. Bukan karena hanya karena dia galak,
tapi saat dia menjelaskan mata kuliah, dia mampu menyihir ruang belajar menjadi
ruang tidur, atau tiba-tiba menjadi seperti penjara. Noly Agustin nama lengkapnya,
dosen paling cantik se fakultas dan paling muda diantara dosen-dosen lainya.
Umurnya 24 tahun tapi sudah mendapatkan gelar S2. Di bandingkan Bu Noly, aku
hanya sebutir debu yang tidak ada artinya bagi Mars.
Hari ini adalah hari paling
penting bagi Mars, dia dipilih menjadi asisten dosen Bu Noly. Hari pertamanya
menjadi pengganti mengajar dosen, rambutnya hitam rapi, dia selalu memakai hem
wana hitam bergaris abu-abu, celana kain yang disetrika rapi, cocok dengan gaya
formalnya. Dan untuk pertama kalinya dalam semester ini aku menyukai hari Rabu.
Mars adalah nama yang kuberikan
untuk kak Tomy, lelaki yang aku temui ketika aku menjadi juniornya saat
ospek. Lelaki berpostur atletis, tinggi,
dan memiliki lesung di pipi kananya. Sebagian mahasiswi cantik tertarik padanya
akan tetapi dia tidak mudah tertarik dengan wanita.
Awal pertemuan kita cukup
menarik, hanya karena secangkir “cappucino coffe”. Kebetulan kita memesan kopi
yang sama hingga akhirnya kita saling bertukar cerita.
“ hey, kamu juga suka cappucino
coffe” Kak Tommy menyapaku dengan lesung pipi mempesonanya.
“ ya, aku suka sekali dengan jenis
ini, minuman tradisional italila” jawabku sembari mengambil secangkir kopi.
“ hmm,, yang terkenal dengan lapisan
atasnya yang berupa froth susu yang biasanya di garnish dengan bubuk coklat.”
Sahut kak Tommy dengan mencium aroma kopinya. Akupun tak mau kalah dan
melanjutkan cerita tentang kopi tradisonal itallia yang menggoda ini.
“bukan hanya froth susunya saja
yang menjadi cirri khas, kamu juga bisa merasakan foam yang agak tegas ketika
pertama teguk, lalu diikuti dengan rasa milky yang kuat setelahnya” sambungku
menikmati seteguk kopi.
“ good, akhirnya aku menemukan
teman yang cocok untuk minum kopi, boleh aku tahu namamu? Aku Tommy” kak Tommy
melebarkan senyumnya dan menjulurkan tanganya untuk berkenalan denganku,
seketika hatiku dag dig dug, cemas, gugup dan banyak lainya. Kitapun
berkenalan, melakukan berbagai aktifitas bersama. Saat ospek aku sering dibuat
senyum – senyum sendiri ketika melihatnya. Dan diapun juga merasakan hal yang
sama.
Ospek selesai, kita tetap bertemu
satu sama lain saat break kuliah, tentunya dengan secangkir cappuccino coffe.
Banyak hal yang kita bicarakan, tentang hoby, cita-cita, karir, keluarga,
bahkan masalah-masalah kecil. Kak Tommy menjadi salah satu alasanku semangat pergi
kekampus bahkan saat hujan deras. Senyumnya yang menawan sering membuatku
terhanyut dalam lamunan panjang, hingga aku tak menyadari jika dia telah pergi
dari 5 menit yang lalu.
Bangku taman belakang universitas
menjadi tempat faforit kita untuk bertemu, disanalah aku menjadi pendenggar
setia dongeng aktifitas harianya. dari yang menarik hingga yang sama sekali
tidak menarik. Ketika dia jatuh cinta, patah hati, berhasil ujian, mendapat
beasiswa, ataupun saat dia sakit. Aku selalu bersemangat mendengarkan semua
ceritanya. Hingga tiba saatnya di
pengujung semester 3, ketika Bu Noly datang, seluruh cerita berubah. Aku tak lagi
melihat dia datang di bangku taman tersebut. Ceritanya tak lagi menarik untuk
di dengarkan. Semua hanya tentang Bu Noly. Dia tak lagi hadir untuk meramaikan
panggung opera dongenya seperti dulu, terlagi semenjak bu Noly mengangkatnya
jadi asisten dosen. Setiap hari mereka selalu bersama, membuatku merasa
tersingkirkan. Sesekali dia datang ke taman, bukan untuk bercengkrama denganku,
tapi hanya untuk membicarakan tugas kuliah saja.
Hari itu saat hujan turun, aku
duduk dibangku taman ditemani payung biru hadiah darinya saat aku ulang tahun
ke 19. Aku duduk sendirian di bangku taman yang telah kita sepakati sebagai
bangku pertemuan khusus. Sudah terhitung 3 minggu dia tidak datang, dan
bodohnya aku masih saja terus menunggunya hadir. Semakin hari semakin sesak
menantinya, semakin hari semakin perih mengenangnya. Aku tidak mengerti mengapa
perasaanku menjadi berubah seperti ini. Bukankah kita hanya berteman? Kenapa
sesakit ini. Hujan masih terus saja turun, dan bodohnya aku tidak beranjak
secentipun dari sana. Sebagian tubuhku sudah terguyur air yang terbawa angin
hujan. Tapi tetap saja aku bertahan, dan parahnya tak ada sedikitpun tanda –
tanda dia akan datang. Aku kecewa.
Seorang teman menghampiriku,
memberikan aku secangkir teh hangat, dan entah aku jadi berharap bahwa Mars
akan memberiku secangkir cappuccino
coffe hangat untukku seperti biasanya. Temanku yang biasa dipanggil Hera duduk
disebelahku,membangunkan lamunanku. hanya 5 detik lamunan itu, tapi cukup
membuat dadaku sesak. Air mata pun akhirnya jatuh menerobos pertahanan kelopak
mataku.
Waktu berlalu, hujan pun berhenti
walapun hatiku masih terasa aneh tangisku sudah lama kering. Hera mentraktirku
minum cappuccino coffe di kantin. Aku memesan 2 cappucino coffe dan 1 brownis
mente.
“ Kak Tomy bagiku seperti Mars,
dekat dengan Venus hanya saja ada Bumi ditengah – tengah kita” kataku sembari
mengaduk-aduk kopi.
“maksud kamu, Bumi itu Bu Noly?”
Tanya Hera tertawa terbahak-bahak, membuat seluruh kantin melihat keaarah kita.
“ huust, kamu berisik tau Her?” aku menutupi sebagian wajahku dengan kedua
tangan. Mengerutkan alisku ketengah. Takut jika ada Bu Noly dan Kak Tommy
lewat.
Hera hanya tertawa keras padaku,
seolah – olah mengatakan bahwa aku memiliki pemikiran konyol karena cemburu
pada Bu Noly. “ kenapa kamu tertawa?” tanyaku penasaran.
“ kamu aneh – aneh saja cemburu
dengan Bu Noly, jelas – jelas Mars dari awal sudah tertarik padamu, siapapun tak
dapat masuk kedalam hatinnya” Perkataan Hera seketika menenangkan fikiranku.
Tapi lagi – lagi aku terusik dengan perubahan Mars akhir – akhir ini. Mungkinkah
dengan seiring berjalanya waktu Mars akan menghilang dari kehidupanku ?
mungkinkah kebersamaan kita yang mulai jarang ini akan menciptakan jarak,
seperti Mars dan Venus?
“ cappuccino dua buk” suara itu
tiba-tiba mengusik telingaku, aku tahu persis nada lembut itu milik kak Tommy,
mataku menjelajahi seluruh sudut ruangan memastikan apakah itu Mars. Dan lagi –
lagi kecepatan mataku menjelajah, kalah cepat dengan langkah kakinya. Entah dia
ada dimana, apakah disudut kiri atau di sudut kanan, atau dia hanya sekedar
lewat atau hanya ilusiku saja. Aku selalu kehilangan dia dalam pandanganku.
Seolah – olah dia ada, namun tak terlihat. “ Mars aku mulai merindukanmu” jarak
ini membuatku melihat dengan jelas perasaan dalam hatiku, membuatku semakin
sakit ketika mengingatnya, semakin sesak ketika tidak menemukan sosok dirinya
lagi. Jarak yang semakin jelas tercipta ini membuatku tak bisa lagi meraih
tanganya dengan mudah. Bahkan untuk menemukan senyuman manisnya saja susah.
Untuk itu aku memutuskan mencintainya dalam diam.
Sore hari pukul 15.30 aku
resmikan sebagai tempat terbaik memesan kopi di kantin, karena disaat itu aku
bisa mendengar suaranya memesan kopi, atau melihatnya tersenyum lepas membahas
banyak hal dengan Bu Noly yang sudah sebulan ini resmi menggantikan posisiku.
Aku tak lagi terlihat di hadapan Kak Tommy, baginya aku hanyalah teman biasa
saja. aku kembali pada posisi lamaku, hanya sebatas junior dan senior.
Setiap hari aku sempatkan duduk
di kursi taman, menulis segala cerita yang pernah Mars ceritakan padaku, dari
kisah cintanya hingga keluarganya. Aku hanya berharap dia masih ingat dengan
tempat ini, walau hanya sekedar ingat saja.
Jarak dan waktu membuatku semakin
mentoleransi keserakahanku yang menginginkan Kak Tommy hadir menemaniku disini
lagi, kini aku hanya menginginkan Mars dan Venus seperti dulu, hanya sebagai
teman minum Kopi. Aku tak menginginkan Kak Tomy mengetahui Perasaanku, atau dia
menyukaiku juga. Aku hanya ingin kita seperti dulu lagi. Saat kita bertukar senyum
sembari minum kopi dikantin.
Hari Rabu semakin menjengkelkan
bagiku, ketika aku harus melihat Bu Noly selama 2 jam penuh, rasanya seluruh
tubuhku semakin menciut, terlebih jika Kak Tommy ikut mengajar juga. Aku masih
ingat sekali ketika Kak Tommy sengaja menerobos masuk ke kelasku, hanya untuk
memberikan secangkir Cappucino coffe sebagai penyemangat presentasiku. Kini melihatku
saja tidak. aku bertanya-tanya, apakah dia menyimpan kenangan kenangan ketika
bersamaku?, apa hanya kenangan biasa. Setiap kali aku melihatnya bersama Bu
Noly, saat itu juga aku mulai membenci perasaan ini. Aku akan menyerah segera.
Melepaskan segala pertanyaan konyol, dan harapan yang sulit terwujud, aku dan
Bu Noly ? jelas terlihat mustahil untukku menang. Mars selalu mengatakan bahwa
Bu Noly adalah tipe idealnya. Sedang aku ? aku hanya teman minum cappuccino coffe
dan penggemar dongen harianya saja.
Hujan turun dengan derasnya, aku
melihat Mars sendirian di lobby, aku ingin sekali mendekat hanya untuk bertukar
kabar, akupun membeli cappuccino coffe kesukaanya, berlarian ke kantin dengan
wajah penuh riang gembira. Aku kembali membawa 2 cup coffe, kepulan asap
terlihat jelas di atas cup coffe itu, seketika aku berbalik menyiapkan hatiku
yang gemetaran ingin bertemu Mars, kubalikkan badan, membuka mata perlahan,
melihat punggung Mars yang gagah. Aku terdiam, senyumku memudar, 2 cup coffe
yang panas tak terasa panas lagi, cuaca yang dingin menjadi semakin dingin, hingga
membuatku beku. hatiku hancur, kopi yang kubawa terlepas begitu saja dari genggamanku,
aku melihatnya, sangat jelas di depanku, sangat nyata, sesuatu yang meyakinkan
dugaanku, dalam sekejap seluruh pertanyaanku terjawab. Aku melihat Bu Noly
berpelukan dengan Kak Tommy, melempar senyum dan berbagi payung. tepat 100
Meter dihadapanku. Aku membalikkan badan menangis sejadi-jadinya. Tak
seharusnya aku datang, tak seharusnya aku menaruh banyak perasaan padanya. Tak
seharunya aku terus berharap, setelah dia meninggalkanku begitu saja tanpa
penjelasan.
Seminggu aku tak masuk kuliah,
aku jadi tak bersemangat melakukan apapun, cappuccino coffe? Terdengar begitu
memuakkan. Aku tak lagi menikmatinya, seluruh cadangan kopi instan di dapurku
kubuang begitu saja. aku juga memutuskan memotong rambutku yang terurai panjang
menjadi sebahu. Aku ingin memulai awal yang baru.
Seminggu berlalu, tangisku sudah
mengering, walaupun aku tidak bisa melupakan dia sepenuhnya, setidaknya aku
mampu bertahan ketika berhadapan dengannya. Sesekali dia mendekat bertegur sapa
lantas pergi lagi seperti biasanya. aku masih menghabiskan waktu istirahatku di
bangku taman, aku tak lagi mengharapkan kedatanganya.
Waktu berlalu, perasaanku masih
sama, juga hatiku. “ hey Venus, Mars datang” suara itu sepertinya aku
mengenalnya, tapi itu tidak mungkin. “ hey aku datang” kak Tommy duduk di
sebelahku, membuatku terkejut dan tidak percaya. “ kopi? Sudah lama tidak
bertemu ya?” kak Tommy membuka pembicaraan “ oh, ya. Apa kabar ? maaf aku sudah
lama berhenti minum kopi” kataku sedikit kaku. “ kenapa? Bukankah kamu sangat
suka kopi dulu? Ah biar untuk Noly saja ya. Oh ya aku sekarang sedang jatuh
cinta” kata-kata itu sukses membuatku gagal melupakanya, rasanya begitu sakit
mendengar kata-kata itu, air mataku , ku tahan sepenuhnya di bibir kelopak
mata, akan tetapi cerobohnya aku, air mata itu semakin memaksa untuk jatuh. Dan
akupun menangis “ kau kenapa ven?” Tanya kak Tommy penasaran. “ ah enggak, aku
hanya terharu. Maaf kak aku harus pergi dulu” aku tak mampu mendengar sepatah
kata lagi dari kak Tommy, akhirnya aku memutuskan untuk pergi darinya.
Kak Tommy masih dengan raut
kebingungan dengan sikapku yang aneh, tak sengaja ia menemukan buku catatan
harianku, dia membukanya satu demi satu lembar, mencoba meresapi apa yang ku
tulis. Detik itu juga Maras akhirnya menemukan rahasia besar yang Venus simpan
erat – erat, 2 tahun berlalu, perasaanya masih sama pada Kak Tommy. Dan bodonya
dia tak pernah tahu perasaan Venus.
Semenjak hari itu, kak Tommy
semakin kesusahan mencariku, aku tak datang lagi kekampus aku memutuskan untuk
cuti 1 semester. Ia merasa menyesal untuk terlambat menyadarinya. Akan tetapi
aku tetap pergi. Bukan karena aku tak lagi mencintainya, hanya saja aku tak
ingin membuat hubungan mereka hancur hanya karena aku. Aku tahu diri. Aku hanya
Venus, teman Mars yang ada disebrang Bumi.
1 tahun berlalu, kak Tommy sudah
wisuda, aku penasaran apakah dia berhasil menuntaskan studynya dengan baik.
Tapi rasanya aku tak memiliki cukup tenaga untu mengetahuinya. Terlebih ketika
aku harus bertemu dengan Bu Noly.
Masa cutiku berahir, hari ini aku
datang kekampus, rambutku masih kubiarkan sebahu. Seperti polwan cantik. Hal
pertama yang aku lakukan adalah pergi ke kantin kampus, memesan cappuccino
coffe yang telah lama kutinggalkan. Aku memutuskan kembali dengan cappuccino
coffe. Sesekali aku mengenang kenangan manis dengan kak Tommy.
“ Hai Venus” seorang wanita
cantik dengan bayi kecil yang digendongnya mengahmpiriku, aku jelas masih ingat
wajah itu, wajah yang membuatku putus asa. “ Bu Noly, ini anak siapa?” aku
bertanya penasaran, berharap jika itu bukan anaknya. “ ini anakku, aku sudah
menikah 1 tahun yang lalu” aku semakin deg-degan, ku beranikan diri untuk
bertanya lebih dalam lagi “ dengan Mars, eh Kak Tommy?” jantungku berdegup
semakin kecang, seolah – olah aku belum siap menerima jawaban dari Bu Noly “
bukan Ven, dia lebih memilih menikah dengan lelaki pilihan ayahnya, karena dia
tahu prianya ternyata mencintai gadis lain” kak Tommy mengambil alih jawaban Bu
Noly . “ hah jadi, kalian tidak menikah” aku tersenyum bahagia, seolah – olah
sedang menang undian berhadiah. “ Venus, aku tahu mungkin ini sudah terlalu terlambat, maafkan aku yang
terlambat menyadari semua ini. Tapi sebelum semakin terlambat akan ku katakan
dengan jelas, maukah kau menikah denganku ?” hatiku berdegup kencang,
seolah-olah mau runtuh. Aku pun mengangguk mengiyakan ajakan kak Tommy menjadi
istrinya. Walaupun aku belum wisuda, Kak Tommy yang sekarang menjadi dosen
tetap di sana tidak membatasi langkahku untuk meneruskan kuliah, dia selalu
mendukung apapun yang aku inginkan. Kita juga tidak menunda memiliki keturunan.
Hingga seminggu setelah wisuda aku melahirkan anak lelaki yang ku beri nama
Bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar