Kamis, 01 September 2016

VENUS, MARS DAN SECANGKIR CAPPUCINO COFFE

Rabu, Hari ke 3 dalam seminggu ini terlihat biasa saja bagi mereka, akan tetapi bagiku Rabu adalah hari yang panjang dan menjengkelkan, karena aku harus bangun 1 jam lebih awal dari biasanya. Melewati ribuan ton kemalasan yang terletak di seluruh tubuhku, terutama dibagian kelopak mata, membuat wajahku sempurna seperti zombie. Sebenarnya bukan itu yang menjadi sebab utamanya, semua karena Mars.

Jam menunjukan pukul 04.00 WIB, matahari masih belum menampakan wajahnya, angin masih terasa sangat dingin hingga merasuk keseluruh tulang rusukku, seperti yang kurasakan ketika aku bertemu dengannya yang adalah kakak senior di kampus.

Namaku Venus Alail, biasa di panggil Venus. Umurku 19 tahun, aku berada di semester 4 jurusan Ilmu Komunikasi. Hari ini mata kuliah Public Relation yang dimulai pukul 7 pagi, dosenya cantik bagaikan bungan mawar warna wani yang berjejeran ditaman. tapi ingat, mawar juga memiliki duri yang tajam, Bu Noly sebutan akrabnya juga seperti itu, walapun dia terkenal dengan kecantikan dan kelembutan suaranya, dia juga memiliki sisi yang buruk, beliau sangat kejam, pelit nilai, disiplin dan sedikit membosankan. Tidak mentolerin keterlambatan lebih dari 5 menit. Kita semua sering menyebutnya ibu penyihir. Bukan karena hanya karena dia galak, tapi saat dia menjelaskan mata kuliah, dia mampu menyihir ruang belajar menjadi ruang tidur, atau tiba-tiba menjadi seperti penjara. Noly Agustin nama lengkapnya, dosen paling cantik se fakultas dan paling muda diantara dosen-dosen lainya. Umurnya 24 tahun tapi sudah mendapatkan gelar S2. Di bandingkan Bu Noly, aku hanya sebutir debu yang tidak ada artinya bagi Mars.

Hari ini adalah hari paling penting bagi Mars, dia dipilih menjadi asisten dosen Bu Noly. Hari pertamanya menjadi pengganti mengajar dosen, rambutnya hitam rapi, dia selalu memakai hem wana hitam bergaris abu-abu, celana kain yang disetrika rapi, cocok dengan gaya formalnya. Dan untuk pertama kalinya dalam semester ini aku menyukai hari Rabu.

Mars adalah nama yang kuberikan untuk kak Tomy, lelaki yang aku temui ketika aku menjadi juniornya saat ospek.  Lelaki berpostur atletis, tinggi, dan memiliki lesung di pipi kananya. Sebagian mahasiswi cantik tertarik padanya akan tetapi dia tidak mudah tertarik dengan wanita.
 
Awal pertemuan kita cukup menarik, hanya karena secangkir “cappucino coffe”. Kebetulan kita memesan kopi yang sama hingga akhirnya kita saling bertukar cerita.
“ hey, kamu juga suka cappucino coffe” Kak Tommy menyapaku dengan lesung pipi mempesonanya.
“ ya, aku suka sekali dengan jenis ini, minuman tradisional italila” jawabku sembari mengambil secangkir kopi.
“ hmm,, yang terkenal dengan lapisan atasnya yang berupa froth susu yang biasanya di garnish dengan bubuk coklat.” Sahut kak Tommy dengan mencium aroma kopinya. Akupun tak mau kalah dan melanjutkan cerita tentang kopi tradisonal itallia yang menggoda ini.
“bukan hanya froth susunya saja yang menjadi cirri khas, kamu juga bisa merasakan foam yang agak tegas ketika pertama teguk, lalu diikuti dengan rasa milky yang kuat setelahnya” sambungku menikmati seteguk kopi.
“ good, akhirnya aku menemukan teman yang cocok untuk minum kopi, boleh aku tahu namamu? Aku Tommy” kak Tommy melebarkan senyumnya dan menjulurkan tanganya untuk berkenalan denganku, seketika hatiku dag dig dug, cemas, gugup dan banyak lainya. Kitapun berkenalan, melakukan berbagai aktifitas bersama. Saat ospek aku sering dibuat senyum – senyum sendiri ketika melihatnya. Dan diapun juga merasakan hal yang sama.

Ospek selesai, kita tetap bertemu satu sama lain saat break kuliah, tentunya dengan secangkir cappuccino coffe. Banyak hal yang kita bicarakan, tentang hoby, cita-cita, karir, keluarga, bahkan masalah-masalah kecil. Kak Tommy menjadi salah satu alasanku semangat pergi kekampus bahkan saat hujan deras. Senyumnya yang menawan sering membuatku terhanyut dalam lamunan panjang, hingga aku tak menyadari jika dia telah pergi dari 5 menit yang lalu.

Bangku taman belakang universitas menjadi tempat faforit kita untuk bertemu, disanalah aku menjadi pendenggar setia dongeng aktifitas harianya. dari yang menarik hingga yang sama sekali tidak menarik. Ketika dia jatuh cinta, patah hati, berhasil ujian, mendapat beasiswa, ataupun saat dia sakit. Aku selalu bersemangat mendengarkan semua ceritanya.  Hingga tiba saatnya di pengujung semester 3, ketika Bu Noly datang, seluruh cerita berubah. Aku tak lagi melihat dia datang di bangku taman tersebut. Ceritanya tak lagi menarik untuk di dengarkan. Semua hanya tentang Bu Noly. Dia tak lagi hadir untuk meramaikan panggung opera dongenya seperti dulu, terlagi semenjak bu Noly mengangkatnya jadi asisten dosen. Setiap hari mereka selalu bersama, membuatku merasa tersingkirkan. Sesekali dia datang ke taman, bukan untuk bercengkrama denganku, tapi hanya untuk membicarakan tugas kuliah saja.

Hari itu saat hujan turun, aku duduk dibangku taman ditemani payung biru hadiah darinya saat aku ulang tahun ke 19. Aku duduk sendirian di bangku taman yang telah kita sepakati sebagai bangku pertemuan khusus. Sudah terhitung 3 minggu dia tidak datang, dan bodohnya aku masih saja terus menunggunya hadir. Semakin hari semakin sesak menantinya, semakin hari semakin perih mengenangnya. Aku tidak mengerti mengapa perasaanku menjadi berubah seperti ini. Bukankah kita hanya berteman? Kenapa sesakit ini. Hujan masih terus saja turun, dan bodohnya aku tidak beranjak secentipun dari sana. Sebagian tubuhku sudah terguyur air yang terbawa angin hujan. Tapi tetap saja aku bertahan, dan parahnya tak ada sedikitpun tanda – tanda dia akan datang. Aku kecewa.

Seorang teman menghampiriku, memberikan aku secangkir teh hangat, dan entah aku jadi berharap bahwa Mars akan  memberiku secangkir cappuccino coffe hangat untukku seperti biasanya. Temanku yang biasa dipanggil Hera duduk disebelahku,membangunkan lamunanku. hanya 5 detik lamunan itu, tapi cukup membuat dadaku sesak. Air mata pun akhirnya jatuh menerobos pertahanan kelopak mataku.

Waktu berlalu, hujan pun berhenti walapun hatiku masih terasa aneh tangisku sudah lama kering. Hera mentraktirku minum cappuccino coffe di kantin. Aku memesan 2 cappucino coffe dan 1 brownis mente.
“ Kak Tomy bagiku seperti Mars, dekat dengan Venus hanya saja ada Bumi ditengah – tengah kita” kataku sembari mengaduk-aduk kopi.
“maksud kamu, Bumi itu Bu Noly?” Tanya Hera tertawa terbahak-bahak, membuat seluruh kantin melihat keaarah kita. “ huust, kamu berisik tau Her?” aku menutupi sebagian wajahku dengan kedua tangan. Mengerutkan alisku ketengah. Takut jika ada Bu Noly dan Kak Tommy lewat.
Hera hanya tertawa keras padaku, seolah – olah mengatakan bahwa aku memiliki pemikiran konyol karena cemburu pada Bu Noly. “ kenapa kamu tertawa?” tanyaku penasaran.
“ kamu aneh – aneh saja cemburu dengan Bu Noly, jelas – jelas Mars dari awal sudah tertarik padamu, siapapun tak dapat masuk kedalam hatinnya” Perkataan Hera seketika menenangkan fikiranku. Tapi lagi – lagi aku terusik dengan perubahan Mars akhir – akhir ini. Mungkinkah dengan seiring berjalanya waktu Mars akan menghilang dari kehidupanku ? mungkinkah kebersamaan kita yang mulai jarang ini akan menciptakan jarak, seperti Mars dan Venus?

“ cappuccino dua buk” suara itu tiba-tiba mengusik telingaku, aku tahu persis nada lembut itu milik kak Tommy, mataku menjelajahi seluruh sudut ruangan memastikan apakah itu Mars. Dan lagi – lagi kecepatan mataku menjelajah, kalah cepat dengan langkah kakinya. Entah dia ada dimana, apakah disudut kiri atau di sudut kanan, atau dia hanya sekedar lewat atau hanya ilusiku saja. Aku selalu kehilangan dia dalam pandanganku. Seolah – olah dia ada, namun tak terlihat. “ Mars aku mulai merindukanmu” jarak ini membuatku melihat dengan jelas perasaan dalam hatiku, membuatku semakin sakit ketika mengingatnya, semakin sesak ketika tidak menemukan sosok dirinya lagi. Jarak yang semakin jelas tercipta ini membuatku tak bisa lagi meraih tanganya dengan mudah. Bahkan untuk menemukan senyuman manisnya saja susah. Untuk itu aku memutuskan mencintainya dalam diam.

Sore hari pukul 15.30 aku resmikan sebagai tempat terbaik memesan kopi di kantin, karena disaat itu aku bisa mendengar suaranya memesan kopi, atau melihatnya tersenyum lepas membahas banyak hal dengan Bu Noly yang sudah sebulan ini resmi menggantikan posisiku. Aku tak lagi terlihat di hadapan Kak Tommy, baginya aku hanyalah teman biasa saja. aku kembali pada posisi lamaku, hanya sebatas junior dan senior.

Setiap hari aku sempatkan duduk di kursi taman, menulis segala cerita yang pernah Mars ceritakan padaku, dari kisah cintanya hingga keluarganya. Aku hanya berharap dia masih ingat dengan tempat ini, walau hanya sekedar ingat saja.
Jarak dan waktu membuatku semakin mentoleransi keserakahanku yang menginginkan Kak Tommy hadir menemaniku disini lagi, kini aku hanya menginginkan Mars dan Venus seperti dulu, hanya sebagai teman minum Kopi. Aku tak menginginkan Kak Tomy mengetahui Perasaanku, atau dia menyukaiku juga. Aku hanya ingin kita seperti dulu lagi. Saat kita bertukar senyum sembari minum kopi  dikantin.

Hari Rabu semakin menjengkelkan bagiku, ketika aku harus melihat Bu Noly selama 2 jam penuh, rasanya seluruh tubuhku semakin menciut, terlebih jika Kak Tommy ikut mengajar juga. Aku masih ingat sekali ketika Kak Tommy sengaja menerobos masuk ke kelasku, hanya untuk memberikan secangkir Cappucino coffe sebagai penyemangat presentasiku. Kini melihatku saja tidak. aku bertanya-tanya, apakah dia menyimpan kenangan kenangan ketika bersamaku?, apa hanya kenangan biasa. Setiap kali aku melihatnya bersama Bu Noly, saat itu juga aku mulai membenci perasaan ini. Aku akan menyerah segera. Melepaskan segala pertanyaan konyol, dan harapan yang sulit terwujud, aku dan Bu Noly ? jelas terlihat mustahil untukku menang. Mars selalu mengatakan bahwa Bu Noly adalah tipe idealnya. Sedang aku ? aku hanya teman minum cappuccino coffe dan penggemar dongen harianya saja.

Hujan turun dengan derasnya, aku melihat Mars sendirian di lobby, aku ingin sekali mendekat hanya untuk bertukar kabar, akupun membeli cappuccino coffe kesukaanya, berlarian ke kantin dengan wajah penuh riang gembira. Aku kembali membawa 2 cup coffe, kepulan asap terlihat jelas di atas cup coffe itu, seketika aku berbalik menyiapkan hatiku yang gemetaran ingin bertemu Mars, kubalikkan badan, membuka mata perlahan, melihat punggung Mars yang gagah. Aku terdiam, senyumku memudar, 2 cup coffe yang panas tak terasa panas lagi, cuaca yang dingin menjadi semakin dingin, hingga membuatku beku. hatiku hancur, kopi yang kubawa terlepas begitu saja dari genggamanku, aku melihatnya, sangat jelas di depanku, sangat nyata, sesuatu yang meyakinkan dugaanku, dalam sekejap seluruh pertanyaanku terjawab. Aku melihat Bu Noly berpelukan dengan Kak Tommy, melempar senyum dan berbagi payung. tepat 100 Meter dihadapanku. Aku membalikkan badan menangis sejadi-jadinya. Tak seharusnya aku datang, tak seharusnya aku menaruh banyak perasaan padanya. Tak seharunya aku terus berharap, setelah dia meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan.

Seminggu aku tak masuk kuliah, aku jadi tak bersemangat melakukan apapun, cappuccino coffe? Terdengar begitu memuakkan. Aku tak lagi menikmatinya, seluruh cadangan kopi instan di dapurku kubuang begitu saja. aku juga memutuskan memotong rambutku yang terurai panjang menjadi sebahu. Aku ingin memulai awal yang baru.

Seminggu berlalu, tangisku sudah mengering, walaupun aku tidak bisa melupakan dia sepenuhnya, setidaknya aku mampu bertahan ketika berhadapan dengannya. Sesekali dia mendekat bertegur sapa lantas pergi lagi seperti biasanya. aku masih menghabiskan waktu istirahatku di bangku taman, aku tak lagi mengharapkan kedatanganya.

Waktu berlalu, perasaanku masih sama, juga hatiku. “ hey Venus, Mars datang” suara itu sepertinya aku mengenalnya, tapi itu tidak mungkin. “ hey aku datang” kak Tommy duduk di sebelahku, membuatku terkejut dan tidak percaya. “ kopi? Sudah lama tidak bertemu ya?” kak Tommy membuka pembicaraan “ oh, ya. Apa kabar ? maaf aku sudah lama berhenti minum kopi” kataku sedikit kaku. “ kenapa? Bukankah kamu sangat suka kopi dulu? Ah biar untuk Noly saja ya. Oh ya aku sekarang sedang jatuh cinta” kata-kata itu sukses membuatku gagal melupakanya, rasanya begitu sakit mendengar kata-kata itu, air mataku , ku tahan sepenuhnya di bibir kelopak mata, akan tetapi cerobohnya aku, air mata itu semakin memaksa untuk jatuh. Dan akupun menangis “ kau kenapa ven?” Tanya kak Tommy penasaran. “ ah enggak, aku hanya terharu. Maaf kak aku harus pergi dulu” aku tak mampu mendengar sepatah kata lagi dari kak Tommy, akhirnya aku memutuskan untuk pergi darinya.

Kak Tommy masih dengan raut kebingungan dengan sikapku yang aneh, tak sengaja ia menemukan buku catatan harianku, dia membukanya satu demi satu lembar, mencoba meresapi apa yang ku tulis. Detik itu juga Maras akhirnya menemukan rahasia besar yang Venus simpan erat – erat, 2 tahun berlalu, perasaanya masih sama pada Kak Tommy. Dan bodonya dia tak pernah tahu perasaan Venus.
Semenjak hari itu, kak Tommy semakin kesusahan mencariku, aku tak datang lagi kekampus aku memutuskan untuk cuti 1 semester. Ia merasa menyesal untuk terlambat menyadarinya. Akan tetapi aku tetap pergi. Bukan karena aku tak lagi mencintainya, hanya saja aku tak ingin membuat hubungan mereka hancur hanya karena aku. Aku tahu diri. Aku hanya Venus, teman Mars yang ada disebrang Bumi.

1 tahun berlalu, kak Tommy sudah wisuda, aku penasaran apakah dia berhasil menuntaskan studynya dengan baik. Tapi rasanya aku tak memiliki cukup tenaga untu mengetahuinya. Terlebih ketika aku harus bertemu dengan Bu Noly.
Masa cutiku berahir, hari ini aku datang kekampus, rambutku masih kubiarkan sebahu. Seperti polwan cantik. Hal pertama yang aku lakukan adalah pergi ke kantin kampus, memesan cappuccino coffe yang telah lama kutinggalkan. Aku memutuskan kembali dengan cappuccino coffe. Sesekali aku mengenang kenangan manis dengan kak Tommy.

“ Hai Venus” seorang wanita cantik dengan bayi kecil yang digendongnya mengahmpiriku, aku jelas masih ingat wajah itu, wajah yang membuatku putus asa. “ Bu Noly, ini anak siapa?” aku bertanya penasaran, berharap jika itu bukan anaknya. “ ini anakku, aku sudah menikah 1 tahun yang lalu” aku semakin deg-degan, ku beranikan diri untuk bertanya lebih dalam lagi “ dengan Mars, eh Kak Tommy?” jantungku berdegup semakin kecang, seolah – olah aku belum siap menerima jawaban dari Bu Noly “ bukan Ven, dia lebih memilih menikah dengan lelaki pilihan ayahnya, karena dia tahu prianya ternyata mencintai gadis lain” kak Tommy mengambil alih jawaban Bu Noly . “ hah jadi, kalian tidak menikah” aku tersenyum bahagia, seolah – olah sedang menang undian berhadiah. “ Venus, aku tahu mungkin ini  sudah terlalu terlambat, maafkan aku yang terlambat menyadari semua ini. Tapi sebelum semakin terlambat akan ku katakan dengan jelas, maukah kau menikah denganku ?” hatiku berdegup kencang, seolah-olah mau runtuh. Aku pun mengangguk mengiyakan ajakan kak Tommy menjadi istrinya. Walaupun aku belum wisuda, Kak Tommy yang sekarang menjadi dosen tetap di sana tidak membatasi langkahku untuk meneruskan kuliah, dia selalu mendukung apapun yang aku inginkan. Kita juga tidak menunda memiliki keturunan. Hingga seminggu setelah wisuda aku melahirkan anak lelaki yang ku beri nama Bumi.